MENCARI JATI DIRI ..
MENCARI ILMU DIMANA SAJA ..
KARNA NAMA BAIK LEBIH BERHARGA DARIPADA KEKAYAAN DUNIA ..

HOME

Kuburan Cina Cikadut

Tanggal 23 Maret 2008 hari Minggu saya pergi ke Pekuburan Cina Cikadut. Sambil menenteng kamera sendirian. Tujuan saya adalah menelusuri kembali tempat main dahulu sewaktu saya masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Ini berarti menggali kenangan lebih dari 30 tahun yang lalu.

Sering apabila istirahat atau sepulang sekolah bermain di area pekuburan. Apa yang dilakukan? Bermain kucing-kucingan, ucing sumput, dar-daran, berenang di sumur atau perang kayu rapet. Yang paling menyenangkan bagi saya adalah perang kayu rapet (rapet adalah bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia artinya lengket).

Kayu rapet dan buahnya

Pintu gerbang pekuburan ini berupa bangunan tinggi dan memanjang yang disebut los. Dulu apabila ada pemakaman mobil jenasah masuk ke dalam los dan berhenti di sana hingga urusan di kantor pemakaman yang ada di depan los selesai. Sehari-hari di samping los sebelah timur ada juga pedagang. Di antaranya pedagang es cendol dan kupat tahu. Kupat tahu Mang Iyat enak sekali dengan uang Rp 25,- sudah bisa menikmati sepiring kupat tahunya. Kebetulan anak Mang Iyat adalah teman sekelas saya di sekolah dasar.

Los dan pohon beringin yang sudah sangat tua

Suasana pekuburan ini tidaklah menyeramkan, meskipun usia saya waktu itu masih anak-anak. Kuburan-kuburan letaknya tidak teratur. Ada yang terbuka ada pula yang dinaungi oleh atap yang disebut bong. Bong bentuknya bermacam-macam. Ada yang berbentuk payung, payung bersusun, jamur merang, prisma, atau beratap tumbuhan merambat. Kebanyakan atap-atap kuburan berwarna merah atau kuning.


Macam-macam bong

Letak pekuburan ini berada di atas beberapa bukit dan lembah yang meliputi kelurahan dan desa di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Dari Alun-alun Bandung ke arah timur sejauh 7 km menelusuri Jl. A. Yani terus ke Jl A.H. Nasution lalu belok ke kiri Jalan Cikadut. Berada di ketinggian lebih dari 700m dpl kita bisa melihat kota Bandung yang membentang dari timur ke barat. Sebelah timur laut ada Gunung Palasari dan Manglayang. Nun jauh di sana sebelah selatan terletak Gunung Malabar, dan ke barat laut ada Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu.


Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu

Kuburan-kuburan menghadap searah dengan aliran air. Jadi kuburan yang berada di atas suatu bukit bisa saja menghadap ke berbagai arah, sesuai kemiringan tanah. Pada waktu saya masih anak-anak Bong Koneng (bong warna kuning) sangat terkenal. Bentuk atapnya seperti payung kembar bersusun dua. Di sana dimakamkan Yo Giok Sie, pendiri sebuah pabrik tekstil besar tidak jauh dari Cikadut. Kuburannya selalu dijaga siang dan malam. Yo Giok Sie meninggal pada tahun 1970-an awal.


Memandang Kota Bandung dan Gunung Malabar

Masih sekira tahun 1970-an juga era keindahan Bong Koneng berakhir setelah raja tekstil Bandung lainnya dimakamkan di sebelah utara Bong Koneng. Dari cerita waktu saya kecil di sana dimakamkan pendiri pabrik tekstil Okatex yang terletak di Cicadas-Bandung. Ketika masih baru atapnya berwarna merah dan pilar penyangganya dibelit ornamen naga. Jika angin bertiup lonceng kecil yang berada di sungut naga akan berbunyi gemerincing. Waktu saya terahir ke sana warna merah atapnya kusam dan tidak ada lagi bunyi gemerincing jika anginnya bertiup. Pada masa jayanya, di halaman depan pabrik Okatex yang luas dapat dilihat beberapa ekor menjangan yang dilepas. Suatu pemandangan yang indah waktu itu.


Bong Koneng dan Bong Okatex

Di barat daya pekuburan yang terletak di kampung Jamaras dulu ada sebidang tanah miring yang ditumbuhi rumput. Tanah ini sering dipakai bermain sepak bola, bentuknya tidak persegi panjang, karena ada pekarangan rumah dan kuburan yang menjorok ke lapangan. Lapang miring ini ditandai dengan kuburan yang disebut Bong Beureum (bong berwarna merah). Selain dipakai tempat sepak bola dipakai pula untuk “ngangon munding” (menggembala kerbau). Lapang Miring tidak jauh dari SD tempat saya belajar, sehingga saya pun sering main sepak bola di sana. Alhasil saya pernah merasakan menginjak “ranjau” di lapang itu berupa kotoran kerbau dan manusia yang sudah dingin tapi masih empuk. Tahun 70-an orang masih sering buang hajat di pinggir lapangan dekat Bong Beureum, karena masih banyak keluarga yang belum mempunyai jamban. Kini lapang miring sudah berganti menjadi pemukiman.

Di areal pekuburan banyak ditanam pohon kayu rapet-penduduk di sana waktu itu menyebutnya demikian, ini berbeda dengan kayu rapet dalam literatur obat tradisional-. Getah pohon ini dapat digunakan sebagai perekat. Dari getah pohon ini kami suka membuat tato. Caranya petik sehelai daun lalu pangkal daun yang masih mengeluarkan getah ditorehkan ke lengan. Kemudian taburkan debu tanah pada torehan tadi, maka debu akan tertinggal pada goresan getah. Bijinya tidak bisa dimakan, kami gunakan untuk senjata perang lempar-lemparan.

Pada waktu istirahat sekolah seluruh teman laki-laki sekelas dibagi dua kelompok yang seimbang. Masing-masing kelompok punya seorang raja. Peperangan bisa dilakukan di antara dua bong yang berdekatan, namun bila terdesak bisa melarikan diri ke bong lain yang lebih aman. Pada suatu petang ketika waktu istirahat dan saya masih kelas 5 pernah melakukan perang besar melawan gabungan kelas 4 dan kelas 6. Kami berhasil mendesak mereka sampai jauh dari arena peperangan semula hingga perbatasan pekuburan bagian utara. Musuh semuanya menyerah minta ampun, kecuali rajanya ketua murid kelas 6 yang bernama Usep, anak kampung Cicabe. Ia memegang batu-bata duduk di atas pilar pagar kuburan seolah raja yang duduk di atas singgasana tapi sudah terpojok masih pula mencoba menantang, “Sok siah saha nu wani ka aing?” (Ayo siapa yang berani melawanku?)

Diputuskan perang berakhir dan kami harus kembali ke sekolah, karena sudah terlalu lama berperang. Rupanya kami sudah lama melewati waktu istirahat, maklum waktu itu tidak ada murid yang punya jam tangan. Ketika masuk ke kelas ruangan sunyi, kosong. Ternyata kepala sekolah mengumpulkan murid-murid di kelas lain yang lebih besar. Waduh!

Pada waktu istirahat sekolah, bila tidak main bola atau perang-perangan, kami pergi ke sumur yang berada di tengah komplek pekuburan. Sumur ini diberi pembatas tembok dengan ketinggian dari atas tanah 25 cm. Airnya selalu meluap. Karena mulut sumur cukup lebar bisa dipakai berenang sampai 5 orang anak kecil. Tentu saja gaya yang bisa digunakan di sini adalah “gaya timbul tenggelam”. Saya tidak bisa berenang jadi hanya duduk menonton teman-teman sambil menunggui baju mereka. Kadang timbul pikiran iseng”, bagaimana kalau saya sembunyikan pakaian mereka? Dasar saya ini anak baik niat jadi “Jaka Tarub” urung, lagi pula tidak akan mendapatkan bidadari.


Arah kuburan mengikuti kemiringan tanah (kiri). Dulu di sini ada mata air dan dibuat sumur (kanan)

Tahun 1980-an saya kembali ke sana mata air ini sudah kering, sehingga saya bisa melihat kedalaman sumur sekira dua meter. Kini sumur itu sudah tidak ada, dipakai kuburan dan ditumbuhi alang-alang di sekitarnya. Ternyata agak selatan dari bekas sumur itu ada babalongan (kolam). Saya melihat beberapa anak sedang memancing. Mungkin ada mata air baru.

Kuburan Cina Cikadut

Tanggal 23 Maret 2008 hari Minggu saya pergi ke Pekuburan Cina Cikadut. Sambil menenteng kamera sendirian. Tujuan saya adalah menelusuri kembali tempat main dahulu sewaktu saya masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Ini berarti menggali kenangan lebih dari 30 tahun yang lalu.

Sering apabila istirahat atau sepulang sekolah bermain di area pekuburan. Apa yang dilakukan? Bermain kucing-kucingan, ucing sumput, dar-daran, berenang di sumur atau perang kayu rapet. Yang paling menyenangkan bagi saya adalah perang kayu rapet (rapet adalah bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia artinya lengket).

Kayu rapet dan buahnya

Pintu gerbang pekuburan ini berupa bangunan tinggi dan memanjang yang disebut los. Dulu apabila ada pemakaman mobil jenasah masuk ke dalam los dan berhenti di sana hingga urusan di kantor pemakaman yang ada di depan los selesai. Sehari-hari di samping los sebelah timur ada juga pedagang. Di antaranya pedagang es cendol dan kupat tahu. Kupat tahu Mang Iyat enak sekali dengan uang Rp 25,- sudah bisa menikmati sepiring kupat tahunya. Kebetulan anak Mang Iyat adalah teman sekelas saya di sekolah dasar.

Los dan pohon beringin yang sudah sangat tua

Suasana pekuburan ini tidaklah menyeramkan, meskipun usia saya waktu itu masih anak-anak. Kuburan-kuburan letaknya tidak teratur. Ada yang terbuka ada pula yang dinaungi oleh atap yang disebut bong. Bong bentuknya bermacam-macam. Ada yang berbentuk payung, payung bersusun, jamur merang, prisma, atau beratap tumbuhan merambat. Kebanyakan atap-atap kuburan berwarna merah atau kuning.


Macam-macam bong

Letak pekuburan ini berada di atas beberapa bukit dan lembah yang meliputi kelurahan dan desa di perbatasan antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Dari Alun-alun Bandung ke arah timur sejauh 7 km menelusuri Jl. A. Yani terus ke Jl A.H. Nasution lalu belok ke kiri Jalan Cikadut. Berada di ketinggian lebih dari 700m dpl kita bisa melihat kota Bandung yang membentang dari timur ke barat. Sebelah timur laut ada Gunung Palasari dan Manglayang. Nun jauh di sana sebelah selatan terletak Gunung Malabar, dan ke barat laut ada Gunung Burangrang dan Tangkuban Parahu.


Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu

Kuburan-kuburan menghadap searah dengan aliran air. Jadi kuburan yang berada di atas suatu bukit bisa saja menghadap ke berbagai arah, sesuai kemiringan tanah. Pada waktu saya masih anak-anak Bong Koneng (bong warna kuning) sangat terkenal. Bentuk atapnya seperti payung kembar bersusun dua. Di sana dimakamkan Yo Giok Sie, pendiri sebuah pabrik tekstil besar tidak jauh dari Cikadut. Kuburannya selalu dijaga siang dan malam. Yo Giok Sie meninggal pada tahun 1970-an awal.


Memandang Kota Bandung dan Gunung Malabar

Masih sekira tahun 1970-an juga era keindahan Bong Koneng berakhir setelah raja tekstil Bandung lainnya dimakamkan di sebelah utara Bong Koneng. Dari cerita waktu saya kecil di sana dimakamkan pendiri pabrik tekstil Okatex yang terletak di Cicadas-Bandung. Ketika masih baru atapnya berwarna merah dan pilar penyangganya dibelit ornamen naga. Jika angin bertiup lonceng kecil yang berada di sungut naga akan berbunyi gemerincing. Waktu saya terahir ke sana warna merah atapnya kusam dan tidak ada lagi bunyi gemerincing jika anginnya bertiup. Pada masa jayanya, di halaman depan pabrik Okatex yang luas dapat dilihat beberapa ekor menjangan yang dilepas. Suatu pemandangan yang indah waktu itu.


Bong Koneng dan Bong Okatex

Di barat daya pekuburan yang terletak di kampung Jamaras dulu ada sebidang tanah miring yang ditumbuhi rumput. Tanah ini sering dipakai bermain sepak bola, bentuknya tidak persegi panjang, karena ada pekarangan rumah dan kuburan yang menjorok ke lapangan. Lapang miring ini ditandai dengan kuburan yang disebut Bong Beureum (bong berwarna merah). Selain dipakai tempat sepak bola dipakai pula untuk “ngangon munding” (menggembala kerbau). Lapang Miring tidak jauh dari SD tempat saya belajar, sehingga saya pun sering main sepak bola di sana. Alhasil saya pernah merasakan menginjak “ranjau” di lapang itu berupa kotoran kerbau dan manusia yang sudah dingin tapi masih empuk. Tahun 70-an orang masih sering buang hajat di pinggir lapangan dekat Bong Beureum, karena masih banyak keluarga yang belum mempunyai jamban. Kini lapang miring sudah berganti menjadi pemukiman.

Di areal pekuburan banyak ditanam pohon kayu rapet-penduduk di sana waktu itu menyebutnya demikian, ini berbeda dengan kayu rapet dalam literatur obat tradisional-. Getah pohon ini dapat digunakan sebagai perekat. Dari getah pohon ini kami suka membuat tato. Caranya petik sehelai daun lalu pangkal daun yang masih mengeluarkan getah ditorehkan ke lengan. Kemudian taburkan debu tanah pada torehan tadi, maka debu akan tertinggal pada goresan getah. Bijinya tidak bisa dimakan, kami gunakan untuk senjata perang lempar-lemparan.

Pada waktu istirahat sekolah seluruh teman laki-laki sekelas dibagi dua kelompok yang seimbang. Masing-masing kelompok punya seorang raja. Peperangan bisa dilakukan di antara dua bong yang berdekatan, namun bila terdesak bisa melarikan diri ke bong lain yang lebih aman. Pada suatu petang ketika waktu istirahat dan saya masih kelas 5 pernah melakukan perang besar melawan gabungan kelas 4 dan kelas 6. Kami berhasil mendesak mereka sampai jauh dari arena peperangan semula hingga perbatasan pekuburan bagian utara. Musuh semuanya menyerah minta ampun, kecuali rajanya ketua murid kelas 6 yang bernama Usep, anak kampung Cicabe. Ia memegang batu-bata duduk di atas pilar pagar kuburan seolah raja yang duduk di atas singgasana tapi sudah terpojok masih pula mencoba menantang, “Sok siah saha nu wani ka aing?” (Ayo siapa yang berani melawanku?)

Diputuskan perang berakhir dan kami harus kembali ke sekolah, karena sudah terlalu lama berperang. Rupanya kami sudah lama melewati waktu istirahat, maklum waktu itu tidak ada murid yang punya jam tangan. Ketika masuk ke kelas ruangan sunyi, kosong. Ternyata kepala sekolah mengumpulkan murid-murid di kelas lain yang lebih besar. Waduh!

Pada waktu istirahat sekolah, bila tidak main bola atau perang-perangan, kami pergi ke sumur yang berada di tengah komplek pekuburan. Sumur ini diberi pembatas tembok dengan ketinggian dari atas tanah 25 cm. Airnya selalu meluap. Karena mulut sumur cukup lebar bisa dipakai berenang sampai 5 orang anak kecil. Tentu saja gaya yang bisa digunakan di sini adalah “gaya timbul tenggelam”. Saya tidak bisa berenang jadi hanya duduk menonton teman-teman sambil menunggui baju mereka. Kadang timbul pikiran iseng”, bagaimana kalau saya sembunyikan pakaian mereka? Dasar saya ini anak baik niat jadi “Jaka Tarub” urung, lagi pula tidak akan mendapatkan bidadari.


Arah kuburan mengikuti kemiringan tanah (kiri). Dulu di sini ada mata air dan dibuat sumur (kanan)

Tahun 1980-an saya kembali ke sana mata air ini sudah kering, sehingga saya bisa melihat kedalaman sumur sekira dua meter. Kini sumur itu sudah tidak ada, dipakai kuburan dan ditumbuhi alang-alang di sekitarnya. Ternyata agak selatan dari bekas sumur itu ada babalongan (kolam). Saya melihat beberapa anak sedang memancing. Mungkin ada mata air baru.

Admin Cikadut's Blog